Sabtu, 11 Juni 2011
           A.    Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital
     1.      Uretra
Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan terbuka dengan sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos yang disarafi oleh sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.
Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang uretra wanita ± 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari veromontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare dan meatus uretra eksterna.
Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
(Purnomo, 2000, hal 6)
2.      Kelenjar Postat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ). Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)
Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat yang membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke vena iliaka interna. ( Underwood, 2000, hal.608 )
Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretoriusmuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan + 25 % dari volume ejakulat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih. ( Purnomo, 2000, hal.7 )
Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan mencapai ukuran optimal pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-laki, ukurannya terus bertambah seiring pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami pembesaran prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit uretra sehingga mengganggu perkemihan. ( Sloane, 2004, hal. 351 )

B.  Penyakit Benigna Prostatic Hypertrophy
  1. Definisi
a.       BPH is one of the most common disorders affecting men, the prostate is the urologic organ most frequently affected by benign and malignant neoplasma. “BPH merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada pria, prostat merupakan organ urology yang paling sering dipengaruhi oleh neoplasma jinak dan ganas.” ( Polaski, 1996, hal. 1447 )
b.      BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat. ( Long,1996, hal. 331 )
c.       BPH adalah penbesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan emdokrin berkenaan proses penuaan. ( Tucker, 1998, hal. 605 )
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yaitu kelenjar yang melingkari kandung kemih sehingga menutup setengah atau seluruh bagian uretra sehingga menghambat pengeluaran urine.

  1. Etiologi
Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa hormon menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat. ( Smeltzer, 2001, hal. 1625 )
Hormon androgen merupakan hormon yang paling memungkinkan sebagai penyebab dari BPH. Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar hormon androgen, disertai naiknya kadar estrogen secara relatif. Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat terhadap androgen. ( Underwood, 2000, hal. 610 )
Beberapa faktor timbulnya BPH antara lain diet, dampak dari inflamasi penyakit kronis, sosial ekonomi, hereditas, dan ras. Angka kejadian meningkat pada kulit hitam dan angka kejadian rendah pada bangsa Asia. Laki-laki dengan perkembangan hipogonadisme yang permanen memungkinkan timbulnya BPH. Proses penuaan ( aging ) merupakan faktor resiko yang utama bagi perkembangan BPH, 80% laki-laki diatas 80 tahun memiliki resiko yang tinggi terkena BPH. ( Black, 1997, hal. 2350 )

  1. Patofisiologi
Hiperplasia prostat jinak ( BPH ) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Lebih dari 50 % pria diatas usia 50 tahun mengalami pertumbuhan nodular ini. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stoma fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. Sebab dari BPH tidak diketahui. Pembesaran jaringan prostat periutretral menyebabkan obtruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam derajat yang berbeda-beda : sering berkemih, nokturia, urgensi   ( kebelet ), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai besarnya kelenjar.
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan reseksi bedah pada prostat. Prostatektomi dapat dilakukan dalam berbagai cara, yang paling sering adalah metode reseksi transuretral. (Silvya Price, 2005, hal 1154)
                                     
  1. Manifestasi Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dimana urine uterus meets setelah berkemih (dribbling), rasa seperti kandung kemih tidak kissing dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih) dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. (Smeltzer, 2001, hal. 1625 )

  1. Komplikasi
a.       Retensi urine
Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika urinaria.
b.      Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah pelebaran pasu pada ginjal serta pengerutan jaringan ginjal, sehingga ginjal menyerupai kantong yang berisi kemih, kondisi ini terjadi karena tekanan dan aliran balik ureter ke ginjal akibat kandung kemih tidak mampu lagi menampung urine dan urine tidak bisa dikeluarkan.
c.       Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi pada ginjal yang diakibatkan oleh bakteri yang masuk ke ginjal dan kandung kemih.
d.      Azotemia
Azotemia ditandai dengan terjadinya peningkatan ureum, fenolamin dan metabolik lain serta racun-racun sisa metabolisme.
e.       Uremia
Uremia adalah peningkatan ureum di dalam darah akibat ketidakmampuan ginjal menyaring hasil metabolisme ureum.
f.       Anemia
Anemia terjadi karena pendarahan massif dan terus-menerus dari saluran kemih yang mengalami iritasi dan pecahnya pembuluh darah akibat penegangan berlebihan oleh kelenjar prostat. (Arief Mansjoer, 2000, hal. 332)

  1. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisa         : warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukan infeksi); bakteria, SDP, SDM mungkin ada secara mikroskopis.
Kultur urin      : dapat menunjukan Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherichia coli.
Sitologi urine   : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih
BUN/ kreatinin :  meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi
Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase tulang)
SDP                 : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak imunosupresi.
Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
IVP dengan film pasca-berkemih : menunjukan pelambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih.
Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena menggunakan bahan kontras lokal.
Sistogram        : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.
Sistometri        : Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine; melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan BPH.
(Doenges, 2002, hal. 672)

  1. Penatalaksanaan
a.       Observasi (watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, Menghindari obat-obat dekongestan                          (Parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkhol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan rektal.
b.      Terapi Medikamentosa
1.      Penghambat adrenergik α
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif α 1a ( tamsulosin ). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2 – 0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis α -1-adrenergikkarena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
2.      Penghambat enzim 5- α -reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
c.       Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
1)      Retensi urine berulang
2)      Hematuria
3)      Tanda penurunan fungsi ginjal
4)      Infeksi saluran kemih berulang
5)      Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6)      Ada batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TUR P), Transurethral Incision of the Prostate (TUIP).
Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah pendarahan, infeksi, hiponatremia (TUR P), atau retensi oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang ialah striktur uretra, ejakulasi retrograde (50-90%) atau impotensi (4-40%)
Indikasi TUIPialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil. Komplikasinya bisa ejakulasi retrograde (0-37%).
( Mansjoer, 2000, hal. 333-334)

C. Proses Keperawatan Benigna Prostatic Hypertrophy
Proses keperawatan merupakan metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan. Hal ini disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien / keluarga.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu pengkajian, perumusan, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
( Nursalam, 2001,hal.1, dikutip dari Iyer,1996)

  1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan basic dari tahap berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan data, mengidentifikasi evaluasi status dan kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe yaitu data subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang didapat dari klien sebagai suatu pendapat terhadap situasi dan kejadian. Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan diukur, ( Nursalam, 2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Pengumpulan data pada pengkajian klien memiliki karakteristik yaitu lengkap, akurat, nyata dan relevan ( Nursalam, 2001, hal. 23 ). Sumber data sangat penting dimana dalam pengkajian sumber data diperoleh dari klien, yang menjadi data primer adalah orang terdekat misalnya suami, istri, orang tua, anak dan temannya, catatam klien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik, cataan mesi dan anggota kesehatan lainnya, perawat lain dan kepustakaan ( Nursalam, 2001, hal.24 – 25 )
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian : komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Teknik tersebut sangat bermanfaat bagi perawat dalam pendekatan pad klien secara rasional, sistematika dalam pengumpulan data, merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya.
Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut :
1)      Sirkulasi
Tanda        :  Peninggian Tekanan Darah ( efek pembesaran ginjal )
2)      Eliminasi
Gejala        :  Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih, nokturi, disuria, hematuria, riwayat batu ( statis urinaria ), konstipasi ( prostrusi prostat ke dalam rektum )
Tanda        :  Massa padat di bawah abdomen bawah ( distensi kandung, kemih ), nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemorrhoid ( mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3)      Makanan / cairan
Gejala        :  Anoreksia : mual, muntah, penurunan berat badan
4)      Nyeri / kenyamanan
Gejala        :  Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada prostatitis akut) nyeri punggung bawah
5)      Keamanan
Gejala        :  Demam
6)      Seksualitas
Gejala        :  Masalah tentang efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual, penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
Tanda        :  Pembesaran, nyeri tekan prostat
7)      Penyuluhan / pembelajaran
Gejala        :  Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal; penggunaan antibiotik uranaria atau agen antibiotik, penggunaan anti hipertendif atau anti depresan
(Doenges, 2000, hal. 671-672)

2.   Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari kelompok atau individu dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengindentifikasi dan memberikan interpretasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Carpenito, 2000)
Diagnosa keperawatan adalah masalah aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalaman ia mampu dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan keperawatan. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Gordon, 1976)
Tujuan dari diagnosa keperawatan adalah untuk mengindentifikasi masalah dimana adanya respon klien terhadap status kesehatan ataupun penyakit, faktor-faktor yang menunjang atau menyebabkan suatu masalah atau etiologi dan kemampuan klien untuk mencegah dan menyelesaikan masalah.
Di dalam menetapkan diagnosa keperawatan telah ditetapkan langkah-langkah yang diklasifikasi dan analisa data, validasi data dan perumusan diagnosa keperawatan. Maka tugas perawat berikutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang dibagi menjadi 5 jenis yaitu diagnosa actual, diagnosa resiko, diagnosa kemungkinan, diagnosa wellness dan diagnosa sindrom. (Nursalam, 2001, hal.43, dikutip dari Carpenito, 2000)
Adapun diagnosa yang timbul pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy adalah:
a.       Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b.      Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
c.       Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
d.      Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan seksualitas.
e.       Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
(Doenges, 2000, hal. 673-678)

3.      Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka perlu dibuat rencana keperawatan, perencanaan keperawatan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, mengoreksi, masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumen. (Nursalam, 2001, hal 51, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Dalam tahapan perencanaan keperawatan ini diperlukan suatu tujuan rencana yaitu tujuan administrative dan tujuan klinik. (Nursalam, 2001, hal.51, dikutip dari Carpenito, 2000). Untuk mengevaluasi rencana tindakan maka diperlukan beberapa langkah yaitu menentukan prioritas, menentukan rencana tindakan dan pendokumentasian, (Nursalam, 2001, hal. 52)
Untuk menentukan prioritas masalah penulis mengambil gambaran pada hirarki Maslow dan hirarki Kalish (Nursalam, 2001, hal 53, dikutip dari Iyer, et. al, 1996). Hirarki Maslow yang menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap : (1) Fisiologis; (2) Rasa aman dan nyaman; (3) Sosial; (4) Harga diri; (5) Aktualisasi diri.
Sedangkan Hirarki Kalish menjelaskan kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri.
Terdapat tiga tahap rencana tindakan yaitu : rencana tindakan perawat, rencana tindakan pelimpahan (medis dan tim kesehatan lain), program atau perintah medis untuk klien yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh perawatan (Nursalam, 2001, hal 54, dikutip dari Carpenito, 2000).
 Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Benigna Prostatic Hypertrophy ini maka rencana keperawatan yang dapat direncanakan adalah:
a.       Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor,ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan             :  Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
Kriteria hasil    : Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya tetesan/ kelebihan cairan.
Intervensi:
1)      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R :             Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih.
2)      Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress .
R : Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3)      Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
R : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4)      Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urine dan perubahan berat jenis
R : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
5)      Perkusi/ palpasi area suprapubik.
R :  Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6)      Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.
R :       Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
7)      Awasi TTV dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/ dependen, perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran akurat.
R : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik; dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
8)      Berikan/ dorong kateter lain dan perawatan perineal.
R : Menurunkan resiko infeksi asenden.
9)      Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
R : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
10)  Kolaborasi dalam pemberian obat antispasmodik sesuai indikasi
R : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.

b.      Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
Tujuan             :  Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.
Kriteria hasil    :  -  Tampak rilek.
-    Mampu untuk tidur/ istirahat dengan tepat.
                  Intervensi:
1)      Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
R :       Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/ keefektifan intervensi.
2)      Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan).
R : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
3)      Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
R : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun, ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
4)      Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu pasien melakukan posisi yang nyaman; mendorong penggunaan relaksasi/ latihan nafas dalam; aktifitas terapeutik.
R : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
5)      Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangan untuk perineum.
R : Meningkatkan relaksasi otot
6)      Masukan kateter dan lakukan masase prostat.
R : Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar.
7)      Berikan obat sesuai indikasi (narkotik, antibakterial, antispasmodik dan sedatif kandung kemih)
R : Narkotik          :  Untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.
      Antibakterial   :  Menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang dimasukkan melalui sistem drainase.
      Antispasmodik dan Sedatif kandung kemih : menghilangkan kepekaan kandung kemih.

c.       Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).

Tujuan             : Mempertahankan hidrasi kuat.
Kriteria hasil    :  -  Tanda Vital stabil.
-    Nadi perifer teraba.
-    Pengisian kapiler baik.
-    Membran mukosa lembab
Intervensi :
1)      Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/ jam.
R : Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2)      Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
R : Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/ hipovolemia.
3)      Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral.
R : Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik sistemik.
4)      Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi.
R : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
5)      Awasi elektrolit khususnya natrium dan berikan cairan IV (cairan faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
R : Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium dapat mengikuti perpindahan, menyebabkan hiponatremia. Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/ memperbaiki hipovolemia.

d.      Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan seksualitas
Tujuan             :  Tampak rileks.
Kriteria hasil    :  -  Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
-    Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
-    Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
Intervensi  :
1)      Selalu ada untuk pasien. Buat hubunga saling percaya dengan pasien/ orang terdekat.
R : Manunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam diskusi tentang subjek sensitif.
2)      Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi. Contoh kateter, urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan pasien.
R : Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan. Termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas.
3)      Pertahankan prilaku nyata dalam melakukan prosedur/ menerima pasien. Lindungi privasi pasien.
R : Menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
4)      Dorong pasien/ orang terdekat untuk menyatakan masalah/ perasaan.
R : Mendefenisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah.
5)      Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
R : Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.

e.       Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
Tujuan             : Pengetahuan meningkat.
Kriteria hasil    :  -  Menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis.
-    Mengidentifikasi hubungan tanda/ gejala proses penyakit.
-    Melakukan perubahan pola hidup/ perilaku yang perlu.
-    Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan / intervensi  :
1)      Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
R : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2)      Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian
R : Membantu pasien mengalami perasaan dapat menrupakan rehabilitasi vital.
3)      Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
R : Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan.
4)      Anjurkan makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudi mobil lama, pemasukan cairan cepat (terutama alkohol).
R : Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesi.
5)      Bicarakan masalah seksual
R : Aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut.
6)      Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual.
R : Memiliki informasi tentang anatomi membantu pasien memahami implikasi tindakan lanjut.
7)      Kaji ulang/ gejala yang memerlukan evaluasi medik.
R : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
8)      Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tantang diagnosa.
R : Menurunkan resiko terapi tak tepat, contohnya penggunaan dekongestan, antikolinergik, dan antidepresan dapat meningkatkan retensi urine dan dapat mencetuskan episode akut
9)      Beri penguatan pentingnya evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan sampai 1 tahun termasuk pemeriksaan rektal, urinalisa.
R : Hipertropi berulang dan/ atau infeksi (disebabkan oleh organisme yang sama atau berbeda), tidak umum dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah komplikasi serius.
                  (Doenges, 2000,hal. 679-685)

4.      Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik Tahap ini adalah tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan.(Nursalam, 2000, hal. 63, dikutip dari Iyer,et.al, 1996)
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu : persiapan, perencanaan dan pendokumentasian.
a.       Fase persiapan meliputi  :
1)      Review antisipasi tindakan keperawatan
2)      Menganalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
3)      Mengetahui konflikasi yang mungkin timbul
4)      Persiapan alat ( resources )
5)      Persiapan lingkungan yang kondusif
6)      Mengidentifikasi aspek hukum dan etik
b.      Fase intervensi terdiri dari  :
1)      Independen : tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tim kesehatan lainnya.
2)      Interdependen  : tindakan keperawatan yang memerlukan kerjasama dengan kesehatan lainnya ( dokter, gizi laboratorium )
3)      Dependen berhubungan dengan tindakan medis atau menandakan tindakan medis dilakukan.
c.       Fase dokumentasi
Menurut suaut catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan ( Nursalam, 2001, hal. 64 ) yang terdiri dari tiga tipe yaitu :
1)      Computer assisted oriented record ( SOR )
2)      Problem oriented record ( POR )
3)      Computer assisted record ( CAR )
Dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien Benigna Prostatic Hypertrophy perawat dapat berperan sebagai pelaksana keperawatan, memberi support, mendidik, advokasi, konselor, dan pencatatan atau penghimpun data.

5.      Evaluasi
Pada tahap terakhir proses keperawatan yaitu evaluasi yang merupakan tindakan intelektual unutk proses keperawatan yang merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan sejauh mana diagnosa keperawatan rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dilaksanakan. Dikutip dari Griffit dan Christensen, 1986 ( Nursalam, 2001, hal. 71 ), evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbadingan yang sistematis pada status kesehatan klien sedangkan Nursalam, ( 2001, hal. 71 ) mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diganosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai serta asuhan keperawatan mallaui hasil perbandingan melalui standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Proses evaluasi dibagi menjadi dua yaitu mengukur pencapaian tujuan dan membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan pencapaian tujuan     ( Nursalam, 2001, hal. 74 ).
Komponen-komponen evaluasi dibagi 5 komponen, yaitu menentukan kriteria standar pertanyaan evaluais, mengumpulkan data terbaru, menganalisa dan membandingkan data, terhadap kriteria dan standar merangkum hasil dan membuat kesimpulan. (Nursalam, 2001, hal. 74, dikutip dari Pinnell dan Wineses, 1986).
Evaluasi terdiri dari dua jenis yaitu  : evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga dengan evaluasi proses, evaluasi jangka pendek atau evaluasi berjalan, dimana evaluasi dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan evaluasi sumatif disebut evaluasi hasil, evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tindakan keperawatan paripurna dilakukan dan menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efesiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format ”SOAP”. ( Nursalam, 2001, hal. 74 ).
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :
1.      Pola berkemih normal.
2.      Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
3.      Komplikasi tercegah minimal.
4.      Proses penyakit/ prognosis dan program terapi dipahami.
(Doenges, 2000, hal. 673)

Selamat Datang


Terima kasih atas kunjungannya di blog kami puskesmas tumpung laung, mudah-mudahan blog ini bisa menjadi inspirasi bagi puskesmas lainnya di kota muara teweh agar bisa berkreatif dalam mengembangkan Instansinya.

Buku Tamu

Teman